[Cerita Pendek] Lemparan Granat Terakhir - Webeza Net

Breaking

[Cerita Pendek] Lemparan Granat Terakhir


Webeza Net - Cerpen Lemparan Granat Terakhir


“Pasukan, maju, jangan lengah!” teriak seorang Jendral kepada pasukannya. Ia berlari sambil menggenggam sanapannya. Sepertinya ia kehabisan peluru, sehingga ia membanting senapannya itu. Aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya bersembunyi melihat kakek dan pasukannya melawan penjajah. Aku bersembunyi di antara 2 bongkahan batu yang besar, sepertinya ini adalah tempat yang aman.

Aku mulai mencemaskan kakekku. Ia maju, dengan kaki terpincang-pincang, dan hanya bersenjatakan pistol. Peluru tembakannya tepat mengenai kepala musuh. Aku merasa sedikit ngeri, tapi aku bangga akan kakekku. Tiba-tiba ada lawan membidik kakekku dari belakang. Aku bisa saja teriak, tapi jika kulakukan, posisiku akan diketahui oleh lawan.

Ternyata ia adalah penembak ulung. Ia melemparkan pelurunya dari jauh, mengenai punggung kakekku. “Aargh!…” teriak kakekku. Aku sempat menangis di sana, melihat kakekku terluka. Penembak ulung itu pun segera diserbu oleh tentara pasukan kakekku. Aku sudah tak kuasa lagi menahan air mataku. Sebagai anak kecil, aku hanya bisa menangis dan lari pulang menuju rumah.
“Ah, ternyata hanya mimpi,” batinku dalam hati.

Memang akhir-akhir ini tidurku selalu dihiasi dengan mimpi yang sama. Entah apa artinya. Walaupun selalu terbayang akan kejadian ini, itu tak membuatku menjadi trauma. Bayang ini malah menjadikanku semakin berani dan bertekad membela negeri ini, sama seperti kakekku.

Bulan menampakkan sinarnya, jam sudah menunjuk angka 11 dan aku masih duduk di kursi goyangku. Kursi goyang ini peninggalan kakekku, Jendral Rickley, pejuang yang membela bangsa dalam melawan penjajah. Fotonya masih terpampang di dinding pojok kanan kamar ini, yang sering membuatku teringat akan jasanya dahulu. Sambil menghisap batang rok*k dan meminum kopi, aku mulai berpikir. Kualihkan penglihatanku, di dinding sebelah kiri, sudah terdapat baju tentara dan sebuah senapan yang tertata rapi. Ya, aku seorang tentara, dan aku mengikuti jejak kakekku. Aku terpikir, akankah aku bisa seperti kakekku?

Lalu pikiranku berubah lagi, ketika aku melihat meja di dekat pintu kamar ini. Terpampang foto tunanganku, Cleo, 3 hari lagi, kami akan duduk di pelaminan. Sangat bahagia, pikirku. Dan kini kusadari, sudah saatnya aku beranjak dari kursi ini, menuju tempat tidurku.

Pagi hari, pukul 06.00, aku duduk di depan meja makan, dengan menu bayam dan ikan asin di meja. Menu ini adalah menu buatan ibu kesukaanku. Terlihat ibu sedang memakan makanannya. Meskipun sudah tua, ia masih sehat dan bugar. Senyumannya yang tak dapat kulupakan, membuatku nyaman di sampingnya. Aku memang hidup hanya bersama ibuku, tapi aku yakin, sebentar lagi aku akan berkeluarga dengan Cleo, dan bisa membahagiakannya, dan juga ibuku tersayang. “Roman, ayo dimakan nasinya,” pinta ibuku. Tanpa sadar aku melamun terlalu lama.

Pukul 06.30, aku memutuskan untuk jalan-jalan ke luar sejenak, sebelum berlatih di markas. Kulihat gapura gangku yang sudah dihias minggu lalu, masih terlihat bagus dan baru. Memang setiap tahunnya kami semua menghias gapura dengan tema yang berbeda-beda, tak selalu sama. Aku melewati rumah-rumah tetanggaku, kadang saling bertegur sapa dan senyum kepadaku.
Tiba-tiba langkahku terhenti di tempat pemakaman. Tergerak hatiku untuk berkunjung ke makam kakekku. Tanpa membawa apa-apa, aku langsung menuju kesana, Sampailah di depan kuburan kakekku, aku duduk di sebelahnya. Karena aku tak membawa bunga, aku hanya membacakan doa kepada beliau. Surat Yasin secara perlahan aku bacakan, agar ia bisa tenang dan amalnya diterima di sisi Allah. Setelah itu aku bergegas pulang.

Pukul 08.00, aku sudah berada di markas latihan tentara di negaraku. Dengan membawa senapanku, aku termasuk pasukan elit yang dipersenjatakan khusus. Dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku tak akan menyia-nyiakan posisi ini.
“Pasukan! Kita mendapat berita, bahwa di kota sebelah, negara penjajah sudah menyerang kota tersebut. Menurut berita, rakyat kota tersebut mencoba melawan, tapi hasilnya sia-sia, di antara mereka malah banyak yang menjadi korban. Dan kemungkinan besar, negara penjajah akan menyerang kota ini besok, jadi, kita harus mempersiapkan diri!” kata jendral menyampaikan berita. “Siap, Jendral!” balas kami. Kami pun diminta untuk istirahat, dan menyiapkan barang karena semalaman kami akan menginap di sini, di markas.

Pukul 22.00, di dalam tenda-ku yang kecil. Aku mulai berpikir tentang Cleo. 2 hari lagi kami akan menikah, tetapi besok aku akan berjuang membela bangsaku, dan mengusir penjajah dari tanah airku ini. Aku dihadapkan 2 pilihan, yang sangat sulit untuk memutuskannya. Yang pertama, aku bisa hidup bahagia dengan Cleo, di desanya, dan mungkin untuk selamanya. Yang kedua, aku akan membela bangsaku, mendapatkan kehormatan seperti kakekku, melindungi banyak orang, dan menentramkan bangsaku seperti dahulu kala. Kini aku bisa saja melarikan diri ke tempat Cleo.
Tetapi, tiba-tiba aku teringat kakekku, ayahku dan semua anggota keluargaku yang telah gugur. Mungkin, memang seharusnya aku membela bangsa ini, demi tanda balas budiku terhadap mereka semua, terhadap bangsa ini, terhadap negeri ini, yang telah mebesarkanku. Aku pun mencoba mengirim telegram kepada Cleo, tentang hal ini.
Keesokan harinya, jam 4 pagi, aku langsung ke makam kakekku, Rickley. Aku ingin meminta doa restu untuk berperang.
“Kakek, Roman minta izin. Roman ingin membela bangsa kita, seperti Kakek. Roman ingin bisa seperti Kakek. Membela negara demi semua warga dan keluarga, meski nyawa taruhannya. Apapun nanti jadinya, tolong berikan restu pada Roman, Kek.” Disaat itu aku meneteskan air mataku.

Pukul 12.30, aku sudah berada di barisan depan pangkalan perangku. Dengan satu senapan, dan 1 granat di sabukku. Ini adalah perang pertamaku, untuk membela tanah air. Fisik dan mental sudah kusiapkan. Penjajah pun datang, dengan satu mobil dengan tembak gutling terpasang di depannya. Diikuti oleh pasukan-pasukan lain dengan senapan milik mereka.

Granat mulai dilemparkan. Ledakan di mana-mana. Aku mulai maju dan menyerang mereka. Dengan rifle ini aku mulai menumbangkan satu per satu pasukan lawan. Tiba-tiba ada tembakan menuju telingaku, yang membuat aku kesulitan untuk mendengar apapun, dan langsung bersembunyi untuk mengisi peluru menggunakan magazineku. Aku sudah tak memikirkan luka di telingaku. Langsung ke medan perang, aku terus menembakkan peluruku.

Sudah banyak teman-temanku yang gugur. Tak kuasa aku meneteskan air mata, melihat mereka tumbang satu per satu. Magazine milikku hanya tinggal setengah. Dan peluru di dalamnya hanya sekitar 15 biji. Aku segera membulatkan keputusanku. Aku berlari menuju mobil lawan, dimana di dalamnya terdapat Jendral utama penjajah. “Kenapa aku baru sadar?” kataku dalam hati.

Aku langsung meminta tolong pasukan yang lain untuk melindungiku hingga aku mencapai mobil bergatling itu. Aku pun berlari, dengan 15 peluruku, aku menembak ke arah pasukan lawan. Walaupun sesaat kaki kiriku tertembak, aku tak perduli, tetap maju dengan tekad yang besar. Tanpa kusadari peluruku sudah habis. Salah satu pasukan tentara melempar granat ke arah mobil tersebut, yang membuat mobil dan seisinya meledak. Tapi, ternyata Jendral lawan berhasil mengeluarkan dirinya dari mobil. Sebelum terlepas dari penglihatanku, aku mengejarnya, dan terus mengejarnya. 

Hingga ia sampai di jalan buntu, penglihatanku mulai kabur. Seketika aku teringat dengan ibu, kakek, dan… Cleo. “Aku tak boleh mengecewakan mereka,” pikirku.
“Wahai Jendral! Sekarang kau sudah tak bisa kemana-mana!” teriakku. “Hahaha! Dasar kau pasukan bodoh! Pelurumu sudah habis, lantas bagaimana kau bisa mengalahkanku?!” tanyanya sambil menodongkan pistol. Benar juga katanya. Tunggu dulu, aku masih memiliki satu senjata. Granat. 

Hanya ini yang bisa kugunakan. “Jendral! Matilah bersamaku, dan jangan pernah mengganggu negeriku lagi!” Aku sudah tak bisa melihat dengan jelas lagi. Aku tak akan bisa melempar granat ini dengan tepat di jarak jauh seperti ini. Dan dengan tekad bulat kuputuskan untuk melempar granat ini, dalam jarak dekat. Dengan sergap aku berlari ke arahnya. Dan kulemparkan senjata pamungkas ini.
Ledakan. Ledakan besar terjadi. Tiba-tiba tubuhku terpental jauh, dan jatuh.

Cerpen Karangan : Affan Abiyyu. Seorang pelajar SMA di Surabaya yang suka berfantasi dan berimajinasi. Sangat menyukai Buku, Game, dan Anime. Mulai menulis cerpen di Desember 2013, dan berharap ia bisa terus mengeksresikan imajinasinya.